Sebuah Jurnal
#PERTAMA Rembulan merintih malam-malam. Mencari jati diri sedang ia tengah menunggu. Di puncak sana aku berdiri. Memandang abu-abu dalam putihnya. Mendengar kegelisahan di hatinya. Cahayanya padam. Surut tenang perlahan-lahan. Aku mengerti. Perasaannya dilanda kemarahan. Kemarahan untuk dirinya yang bodoh. Bodoh untuk diam, dusta, pura-pura, kecewa. Dia baik di balik tangannya. Dia peduli dibalik diamnya. Masih diriku berhutang. Tak sempat kuucap terima kasih atas kebaikannya. Kamu adalah rembulan itu. Sementara, akulah debu-debumu, yang tak punya rupa untuk menatapmu sekali saja. Maaf telah merepotkanmu. Telah kamu luangkan waktumu untuk mengembalikan yang menjadi milikku. Sayang, tak sempat kuucap terima kasih dari lubuk hati yang paling dalam. Tak kusangka kamu mengenalku. Kamu tahu diriku meski hanya setitik noktah. Andaikan kamu tahu, aku ingin bisa mengenalmu tanpa sembunyi-sembunyi.