Artikel Pemansan Global
Pemanasan
Global:
Penyebab,
Dampak, dan Upaya Meminimalisasinya
Pemanasan
global (global warming) adalah suatu
bentuk ketidakseimbangan ekosistem di bumi akibat terjadinya proses peningkatan
suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan di bumi. Selama kurang lebih seratus
tahun terakhir, suhu rata-rata di permukaan bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18
°C. Sebagian besar pakar lingkungan sepakat bahwa terjadinya perubahan iklim
merupakan salah satu dampak dari pemanasan global. Meskipun masih belum sepenuhnya
dimengerti dengan pasti, peningkatan konsentrasi gas rumah kaca terutama karbon
dioksida (CO2), metana (CH4), dinitro-oksida (N2O),
perfluorocarbon (PFC), hydrofluorocarbon (HFC) dan sulphur hexafluoride (SF6)
di atmosfir bumi diyakini menjadi penyebab timbulnya pemanasan global. Emisi
ini terutama dihasilkan dari proses pembakaran bahan bakar fosil, yaitu minyak
bumi dan batu bara, serta akibat penggundulan dan pembakaran hutan.
Pemanasan
global dapat terjadi karena adanya efek rumah kaca. Gas rumah kaca yang berada
di atmosfer bumi dapat disamakan dengan tabir kaca pada pertanian yang menggunakan
rumah kaca. Panas matahari yang berupa radiasi gelombang pendek masuk ke bumi dengan
menembus tabir gas rumah kaca tersebut. Sebagian panas diserap oleh bumi dan
sisanya dipantulkan kembali ke luar angkasa sebagai radiasi gelombang panjang. Namun,
panas yang seharusnya dipantulkan kembali ke luar angkasa menyentuh permukaan
tabir dan terperangkap di dalam bumi. Seperti proses dalam pertanian rumah kaca,
sebagian panas akan ditahan di permukaan bumi sehingga bumi menghangat.
Efek
rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh semua makhluk hidup yang ada di bumi. Hal
ini dikarenakan tanpa efek rumah kaca, suhu di bumi akan menjadi sangat dingin
lebih kurang -18°C, sehingga seluruh permukaan bumi akan tertutup lapiesan es.
Dengan temperatur rata-rata sebesar 15°C, bumi sebenarnya telah lebih panas
33°C dengan efek rumah kaca. Akan tetapi jika gas-gas tersebut telah berlebih
di atmosfer, maka akan menyebabkan semakin banyaknya panas yang terperangkap di
permukaan bumi. Hal ini menyebabkan suhu di bumi meningkat, atau dapat
dikatakan sebagai pemanasan global.
Apabila
pemanasan global dibiarkan secara terus-menerus tanpa adanya usaha untuk menanggulanginya,
maka diperkirakan pada tahun 2100 akan meningkatkan suhu udara sebesar 1,4 –
5,80C relatif terhadap suhu udara di tahun 1990. Meningkatnya suhu
udara di bumi ini akan berdampak pada perubahan iklim yang ekstrem. Hal ini
ditandai dengan terganggunya ekosistem dan mencairnya gunung-gunung es di
wilayah kutub. Menurut Houghton (2001), mencairnya gunung es tersebut akan
berakibat naiknya permukaan air laut sebesar 9 sampai 88 cm pada tahun 2100
nantinya.
Penyebab
pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses efek balik yang
dihasilkannya, seperti pada penguapan air. Menurut Soden dan Held (2005), pada
awalnya pemanasan akan lebih meningkatkan banyaknya uap air di atmosfer. Karena
uap air sendiri merupakan gas rumah kaca, maka pemanasan akan terus berlanjut
dan menambah jumlah uap air di udara hingga tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi
uap air. Keadaan ini menyebabkan efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih besar
bila dibandingkan oleh akibat gas CO2 itu sendiri. Peristiwa efek balik ini dapat
meningkatkan kandungan air absolut di udara, namun kelembaban relatif udara hampir
konstan atau bahkan agak menurun karena udara menjadi menghangat. Karena usia
CO2 yang panjang di atmosfer maka efek balik ini secara perlahan dapat
dibalikkan.
Selain
penguapan, awan diduga menjadi efek balik. Radiasi infra merah akan dipantulkan
kembali ke bumi oleh awan, sehingga akan meningkatkan efek pemanasan. Sementara
awan tersebut akan memantulkan pula sinar Matahari dan radiasi infra merah ke
angkasa, sehingga meningkatkan efek pendinginan. Secara detail hal ini sulit
direpresentasikan dalam model iklim, antara lain karena awan sangat kecil bila
dibandingkan dengan jarak antara batas-batas komputasional dalam model iklim
(sekitar 125 hingga 500 km untuk model yang digunakan dalam Laporan Pandangan
IPCC ke 4). Walaupun demikian, umpan balik awan berada pada peringkat dua bila
dibandingkan dengan umpan balik uap air dan dianggap positif (menambah
pemanasan) dalam semua model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke-4.
Menurut
Thomas (2001), efek balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan
memantulkan cahaya oleh es. Lapisan es yang berada di dekat kutub mencair
dengan kecepatan yang terus meningkat ketika temperatur global meningkat.
Bersamaan dengan mencairnya es tersebut, daratan atau air dibawahnya akan
terbuka. Daratan maupun air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit
bila dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi
Matahari. Kejadian ini akan menambah faktor penyebab pemanasan dan menimbulkan
lebih banyak lagi es yang mencair, sehingga menjadi suatu siklus yang
berkelanjutan.
Faktor
lain yang memiliki kontribusi terhadap pemanasan global adalah efek balik
positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah beku (permafrost).
Selain itu, es yang mencair juga akan melepas CH4 yang juga dapat menimbulkan
umpan balik positif.
Menurut
Buesseler (2007), laut memiliki kemampuan ekologis untuk menyerap karbon di
atmosfer. Fitoplankton mampu menyerap karbon guna kelangsungan proses
fotosintesis. Tetapi kemampuan ini akan berkurang jika laut menghangat yang
diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona mesopelagic sehingga
membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton.
Menurut
Marsh dan Henrik (2000), pemanasan global dapat pula diakibatkan oleh variasi
matahari. Suatu hipotesis menyatakan bahwa variasi dari Matahari yang diperkuat
oleh umpan balik dari awan, dapat memberi kontribusi dalam pemanasan saat ini.
Perbedaan antara mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah
meningkatnya aktivitas matahari akan memanaskan stratosfer. Sebaliknya, efek
rumah kaca akan mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer bagian bawah
paling tidak telah diamati sejak tahun 1960, yang tidak akan terjadi bila
aktivitas matahari menjadi kontributor utama pemanasan saat ini. Menurut Hegerl
(2007) dan Ammann (2007), penipisan lapisan ozon juga dapat memberikan efek
pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi mulai akhir tahun 1970-an.
Fenomena variasi matahari dikombinasikan dengan aktivitas gunung berapi yang mungkin
telah memberikan efek pemanasan dari masa pra-industri hingga tahun 1950, serta
efek pendinginan sejak tahun 1950 Hasil penelitian menyatakan bahwa kontribusi
Matahari mungkin telah diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuan dari Duke
University mengestimasikan bahwa matahari mungkin telah berkontribusi terhadap
45-50% peningkatan temperatur rata-rata global selama periode 1900-2000, dan
sekitar 25-35% antara tahun 1980 dan 2000.
Peningkatan
suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) sebagian besar
disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas
manusia. Suhu permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C antara tahun
1990 dan 2100. Dengan menggunakan model iklim, perbedaan angka perkiraan itu
disebabkan oleh penggunaan skenario-skenario berbeda mengenai emisi gas-gas
rumah kaca di masa mendatang, serta model-model sensitivitas iklim yang
berbeda. Walaupun sebagian besar penelitian terfokus pada periode hingga 2100,
pemanasan dan kenaikan muka air laut diperkirakan akan terus berlanjut selama
lebih dari seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil. Ini
mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan.
Pemanasan
global telah memicu terjadinya sejumlah konsekuensi yang merugikan, baik
terhadap lingkungan maupun setiap aspek kehidupan manusia. Beberapa di
antaranya adalah sebagai berikut:
1. Mencairnya
lapisan es di kutub utara dan selatan.
Peristiwa ini mengakibatkan naiknya
permukaan air laut secara global, hal ini dapat mengakibatkan sejumlah
pulau-pulau kecil tenggelam. Kehidupan masyarakat yang hidup di daerah pesisir
terancam. Permukiman penduduk dilanda banjir rob akibat air pasang yang tinggi
sehingga berakibat kerusakan fasilitas sosial dan ekonomi.
2. Meningkatnya
intensitas fenomena cuaca yang ekstrem.
Perubahan iklim menyebabkan musim sulit
diprediksi. Petani tidak dapat memprediksi perkiraan musim tanam akibat musim
yang juga tidak menentu. Akibat musim tanam yang sulit diprediksi dan musim
penghujan yang tidak menentu, maka musim produksi panen juga demikian. Hal ini
berdampak pada masalah penyediaan pangan bagi penduduk, kelaparan, lapangan
kerja bahkan menimbulkan kriminal akibat tekanan tuntutan hidup.
3. Punahnya
berbagai jenis fauna.
Flora dan fauna memiliki batas toleransi
terhadap suhu, kelembaban, kadar air dan sumber makanan. Kenaikan suhu global
menyebabkan terganggunya siklus air, kelembaban udara dan berdampak pada
pertumbuhan tumbuhan sehingga menghambat laju produktivitas primer. Kondisi ini
pun memberikan pengaruh habitat dan kehidupan fauna.
4. Habitat hewan
berubah akibat perubahan faktor-faktor suhu, kelembaban dan produktivitas
primer sehingga sejumlah hewan melakukan migrasi untuk menemukan habitat baru
yang sesuai. Migrasi burung akan berubah disebabkan perubahan musim, arah dan
kecepatan angin, arus laut (yang membawa nutrien dan migrasi ikan).
5. Peningkatan muka
air laut, air pasang dan musim hujan yang tidak menentu menyebabkan peningkatnya frekuensi dan intensitas banjir.
6. Berubahnya
habitat memungkinkan terjadinya perubahan terhadap resistensi kehidupan larva
dan masa pertumbuhan organisme tertentu. Kondisi ini tidak menutup kemungkinan
adanya pertumbuhan dan resistensi organisme penyebab penyakit tropis.
Jenis-jenis larva yang berubah resistensinya terhadap perubahan musim dapat
meningkatkan penyebaran organisme ini lebih luas. Hal ini menimbulkan wabah
penyakit yang dianggap baru.
7. Mengancam
kerusakan terumbu karang di kawasan segitiga terumbu karang yang ada di enam
negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Kepulauan Salomon, Papua Nugini, Timor Leste, dan Philipina. Lebih dari 50% spesies
terumbu karang dunia hidup berada di kawasan segitiga ini. Berdasarkan data Intergovernmental Panel on Climate Change
(IPCC), sebanyak 30% terumbu karang dunia telah mati akibat badai el nino pada 1998 lalu. Diprediksi, pada
10 tahun ke depan akan kembali terjadi kerusakan sebanyak 30%.
Untuk
meminimalisasi dampak adanya pemanasan global, perlu diupayakan beberapa hal
berikut ini,
1. Konservasi
lingkungan dengan penanaman pohon dan penghijauan di lahan-lahan kritis.
Tumbuhan hijau memiliki peran dalam proses fotosintesis, yaitu diperlukannya
karbondioksida sehingga menghasilkan oksigen. Hal ini akan mengurangi akumulasi
gas-gas karbon di atmosfer.
2. Menggunakan
energi alternatif guna mengurangi penggunaan energi bahan bakar fosil. Emisi
gas karbon yang terakumulasi ke atmosfer banyak dihasilkan oleh pembakaran bahan
bakar fosil. Teknologi untuk mitigasi gas rumah kaca dapat dikelompokkan
menjadi dua kategori yaitu: untuk sisi penawaran dan untuk sisi permintaan.
Untuk sisi penawaran dapat dilakukan dengan menggunakan sistem konversi yang
lebih efisien, mengubah bahan bakar dari energi yang mempunyai emisi tinggi menjadi
energi yang mempunyai emisi rendah, dan meningkatkan penggunaan energi terbarukan.
Untuk sisi permintaan dapat menggunakan demand
side management, dan menggunakan peralatan yang lebih efisien. Energi terbarukan
seperti pembangkit listrik tenaga air dan panas bumi mempunyai kelebihan
sebagai pilihan untuk mitigasi gas rumah kaca. Energi terbarukan dapat membangkitkan
tenaga listrik tanpa melalui pembakaran tidak seperti pada penggunakan energi
fosil. Pembangkit listrik tenaga air dapat dikatakan bebas dari emisi gas rumah
kaca, sedangkan pembangkit listrik tenaga panas bumi hanya menghasilkan seperenam
dari emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari penggunaan gas alam untuk
pembangkit listrik.
3. Daur ulang dan
efisiensi energi. Penggunaan minyak tanah untuk menyalakan kompor di rumah,
menghasilkan asap dan jelaga yang mengandung karbon. Karena itu sebaiknya
diganti dengan gas. Biogas menjadi hal yang baik dan perlu dikembangkan,
misalnya dari sampah organik.
Sementara
itu, untuk mengurangi dampak pemanasan global dapat diupayakan dengan
menyadarkan manusia yang berperan sebagai pengguna-perusak-pelestari alam. Alam
memiliki keterbatasan dibanding kemampuan manusia dalam mengeksploatasi alam.
Manusia memanfaatkan alam guna memperoleh sumber makanan dan kebutuhan sosial
lainnya, tetapi disadari atau tidak tindakannya dapat berakibat kerusakan
faktor-faktor ekologis. Karena itu manusia harus menyadari bahwa ia dan
perilakunya adalah bagian dari alam dan lingkungan yang saling mempengaruhi.
Daftar Pustaka
Sugiyono, A. (2006). Penanggulangan Pemanasan Global di Sektor
Pengguna Energi. Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca, 7,
15-19. URL
diakses pada 25-01-2019.
Utina, R. (n.d.). PEMANASAN GLOBAL: Dampak dan Upaya
Meminimalisasinya. URL
diakses pada 25-01-2019
Author : Ulfah Nur Azizah
Komentar
Posting Komentar