Mentari yang Tak Pernah Sambat
Berapa sering kita berbagi? Apakah
dengan berbagi menandakan jika kita ini orang yang justru sangat membutuhkan
pertolongan dari orang yang kita bagi? Apakah mereka yang pantas untuk berbagi hanyalah
orang yang pandai, kaya, dan terkemuka di hadapan publik?
Coba kita berpikir lebih dalam lagi,
siapa orang yang boleh berbagi? Bagi saya, semua orang memiliki hak untuk
berbagi, tanpa memandang suku, agama, ras, budaya, gender, maupun derajat. Bagi
beberapa orang yang berpikiran sempit, akan lebih mudah untuk berkata, “Saya
itu orang yang tidak punya apa-apa, jadi saya tidak mampu berbagi saat ini.
Untuk biaya hidup saja sulit, lalu kalau saya berbagi, mau makan apa nanti
anak-anak saya?”
Bagi mereka, berbagi mungkin hanya
sebatas pemandangan dalam bentuk materi yang mana materi adalah segalanya bagi
orang lain. Orang yang berpikiran sempit seperti itu adalah orang yang
mengedepankan sikap hedonisme yang sudah melekat dalam hati dan pikiran mereka.
Semuanya terbatas hanya pada materi yang bersifat keduniaan dengan menganggap
bahwa manusia sejatinya itu mutlak bergantung dan berkeinginan pada harta yang
melimpah. Padahal, belum tentu, orang dengan harta berlebih akan bersedia
mendermakan hartanya dengan alasan bahwa yang akan dibagikan itu terlalu kecil
dan rendah nilainya sehingga mereka hanya dikekang rasa minder dan takut
apabila publik berpandangan bahwa orang itu adalah orang terpelit di dunia.
Orang-orang yang memiliki pandangan negatif atau istilahnya adalah negative thinking, dalam benaknya hanya
akan dipenuhi pemikiran semacam ancaman pada bagaimana orang lain akan menilai
saya apabila saya bertindak semacam ini. Saya yakin, orang-orang dengan
berkepribadian tertentu pasti pernah merasakan hal semacam ini. Rasa takut
apabila apa yang kita bagi akan ditolak oleh orang lain, akan menyinggung
perasaan orang lain, hingga rasa takut jika hal yang kita bagi itu tidak
memiliki arti penting bagi mereka. Pada dasarnya, prinsip ini akan bergantung
pada karakter masing-masing individu dalam bersikap.
Sementara itu, dalam beberapa
peristiwa yang pernah saya amati, orang dengan harta yang cukup hanya untuk
kebutuhan makan, bahkan kekurangan, ada keunikan tersendiri dalam prinsip hidup
mereka. Bahwa apa yang kita miliki adalah suatu keberhakan apabila kita mampu
berbagi, meskipun dalam kapasitas yang terbilang sangat kecil. Namun, bagi
mereka hal ini adalah sesuatu yang dapat memberikan kedamaian dan ketentraman
dalam jiwa mereka, terlebih pada orang yang mereka bagi. Tentang mau menerima
atau menolak, itu adalah hak bagi orang yang mereka bagi.
Pada intinya, manusia yang
multikultural ini memiliki pandangan dan pemikiran yang terkadang tidak sefase
dengan gelombang pemikiran orang lain.
Namun, di zaman dengan perkembangan teknologi yang semakin maju ini, kita dimudahkan untuk berbagi dengan orang lain, hanya dengan sekali klik di www.dompetdhuafa.org atau di donasi.dompetdhuafa.org kita menjadi mudah untuk meringankan beban saudara-saudara kita, khususnya yang memerlukan.
Siang, mentari
bersinar terang
Memberikan secercah
harapan baru bagi mereka yang menerima sinarnya
Petani-petani
yang mengeringkan gabah dan garamnya,
Tumbuh-tumbuhan
yang mengubah karbondioksida dan air
menjadi
karbohidrat dan oksigen
yang kelak,
memberikan
siklus kehidupan bagi setiap makhluk
yang berpijak
pada tanah yang tak pernah sambat
Bahkan, kita sebagai manusia seharusnya
bisa memberikan kemanfaatan untuk orang lain layaknya matahari yang tak pernah
lelah berbagi, bumi yang selalu berotasi dan berevolusi agar kita bisa tetap
hidup, tanah yang tak pernah mengeluh agar kita tumbuh makmur, dan air yang
terus mengalir meski banyak noda yang membasuhi tubuhnya.
Sebenarnya, kalau kita telusuri
lebih dalam lagi, berbagi tidak harus pada kapasitas dengan kuantitas yang
banyak dan berkualitas, melainkan apa adanya sesuai kemampuan kita. Kita tahu,
setiap orang pasti pernah mengalami kesedihan, baik yang mendalam maupun yang
hanya bertamu seketika di tengah kebahagiaan. Mungkin, tidak semua orang
membutuhkan harta apabila mereka punya harta yang melimpah. Dalam kesedihan
itu, harta bukanlah kunci untuk mengembalikan kebahagiaannya. Lalu, hal apa
yang berhak mereka terima dan hal yang harusnya kita bagi? Senyumlah! Berikan
orang itu motivasi dan semangat agar ia bangkit kembali dan tidak berlarut-larut
dalam kesedihan.
Di ranah kehidupan remaja, kita sering melihat teman ataupun sahabat kita yang bersedih setelah hubungannya dengan lawan jenis terputus setelah begitu lamanya hubungan itu terbangun. Atau, teman-teman kita yang murung karena nilai yang didapatkan melenceng jauh di bawah harapan. Maka, dari hal semacam ini, kita bisa berbagi dengan menghibur dan berkata, “Kehidupan ini bukan hanya tentang nilai dan predikat yang penuh dengan materi. Masih banyak kebahagiaan lain yang masih bisa kita capai. Berusahalah menjadi yang terbaik dan masih banyak orang yang menyayangimu,” Tentu saja, menurut saya, menebar senyum dan kebahagiaan untuk orang lain merupakan bagian dari berbagi dengan cara yang paling sederhana.
Dalam konteks kehidupan
bermasyarakat, khususnya di Indonesia yang penuh dengan budaya luhur ini,
tetangga merupakan orang terdekat yang menolong dan ditolong. Suatu kolaborasi
khusus yang menyebabkan kita saling membantu dalam kehidupan bertetangga. Dalam
Islam, terdapat beberapa poin penting dalam hidup bertetangga, yaitu seperti
saling berbagi ketika tetangga mencium bau masakan yang kita masak. Bukankah
itu juga termasuk dalam konteks berbagi?
Beberapa dari kita pasti juga pernah
merasakan duduk di bangku sekolah untuk mengenyam pendidikan, bukan? Mungkin,
antara siswa yang pandai dengan yang kurang pandai juga tedapat kontraks yang
seharusnya tidak menimbulkan diskriminasi yang pada akhirnya akan menimbulkan
perpecahan. Dalam beberapa hal yang pernah saya amati dan alami, orang-orang
yang kurang menguasai suatu materi pasti akan bertanya pada mereka yang lebih
cerdas. Lalu, dengan senang hati, yang cerdas akan mengajarkan pada mereka yang
kurang cerdas agar mereka berada dalam kepahaman yang sama dengan orang yang
cerdas. Bukankah itu juga termasuk dalam konteks berbagi?
Saya memiliki beberapa kisah yang
akan sedikit saya bagi dalam tulisan kali ini. Di usia saya yang terbilang
masih dalam masa remaja, tantangan demi tantangan hidup pernah saya lalui. Bertahap,
dari yang mudah, sedang, hingga yang sulit. Saya juga bukan anak yang berasal
dari keluarga bergelimang harta, melainkan saya terlahir dari keluarga yang
sederhana dan pas-pasan. Terkadang, saat berada di lingkungan sekolah yang
mayoritas terisi oleh anak orang berada, saya merasa minder untuk berbagi pada
mereka, salah satunya adalah makanan. Dari cara mereka hidup, saya berpendapat
bahwa makanan yang saya makan ini mungkin bukanlah sesuatu yang menikmatkan atau
dalam selera mereka. Dengan asumsi seperti itu, setiap kali saya ingin
membagikan makanan saya pada mereka, saya harus berpikir lebih matang,
mungkinkah mereka akan merasa jijik dan menolak pemberian saya. Nyatanya,
setelah hal ini berjalan, mereka pun akan menghargai pemberian saya, seperti
apa pun bentuknya. Hubungan saling memiliki dan keterkaitan yang erat dalam
satu kelas ini, bagi saya adalah sebuah keluarga baru di mana dengan segenap
keikhlasan, mereka akan menerima sesuatu dengan apa adanya. Terkadang, dengan
sikap peduli yang ditanamkan oleh masing-masing orang tua sejak dini, mereka pasti
juga tertarik untuk berbagi dengan lainnya. Hingga suatu korelasi baru akan timbul
seperti bagaimana kita berbalas budi pada orang yang telah memberikan kita
suatu energi baru, baik itu dalam bentuk materi maupun moralitas. Di lain hal,
saya sering merasa miris saat melihat orang-orang di sepanjang jalan yang saya
lalui harus bekerja sekuat tenaga memikul dagangan mereka di bawah terik
matahari. Bahkan, mereka terbilang sudah berusia lanjut. Apalagi, dagangan yang
mereka jual itu belum ada pembelinya sama sekali. Lalu, saya sendiri terkadang
melihat beberapa orang yang memiliki jiwa menolong yang tinggi, mereka akan
berusaha membeli dagangan mereka, meskipun bukan seleranya. Namun, sikap yang
terdalam seperti rasa empati dan simpati pada orang lain, akan mendorong kita
berbuat baik pada mereka.
Mentari mulai
meninggalkan muka,
Memberikan
semburat kasih dengan untaian warna
Senja mendatang,
Jiwa-jiwa
pekerja berpulang
Memeluk keluarga
dan sanak saudara
Lalu di sana,
kita saling bercengkerama
Siapa yang belum pernah merasakan
rindu? Kita semua pasti pernah merasakan perasaan yang menenggelamkan rasa atas
dasar cinta dan kasih sayang. Seorang hamba yang merindukan Tuhan dan Rasulnya,
seorang anak yang merindukan biyungnya, atau seorang manusia yang merindukan
kasihnya. Lalu, setelah sekian lama merindu, masing-masing insan saling
bertemu. Saling memeluk erat dan bertanya kabar. Setelah itu, mereka akan
saling berbincang-bincang berbagi cerita dan kisah yang dihadapinya agar orang
yang kita kasihi tahu dan ikut merasakannya. Mulai dari kisah pelik, bahagia, hingga
kisah sedih. Atau, ada beberapa kisah yang sengaja kita tutupi agar orang yang
kita kasihi tidak terlarut dalam rasa sedih yang kita alami. Bagi orang yang
mengerti, berbagi kisah akan meringankan beban orang yang membagikan kisahnya. Memahaminya,
lalu menjadikannya sebagai suatu pelajaran berharga untuk kehidupan di masa
mendatang karena waktu akan terus berlanjut.
Namun, hal yang seharusnya tak boleh
terjadi adalah berbagi dalam konteks kenegatifan. Segalanya yang berada dalam
lingkaran negatif, akan memberikan pengaruh negatif juga bagi orang di
sekelilingnya. Seperti halnya berbagi jawaban ketika ulangan berlangsung,
berbagi informasi hoax yang
menimbulkan kesalahpahaman, atau berbagi hal-hal buruk yang memengaruhi jiwa
dan mental orang lain. Menurut saya, hal itu bukanlah dalam konteks berbagi,
melainkan menjerumuskan dan menarik orang lain agar masuk dalam ranah
mereka. Tentu saja, hal ini tidak baik.
Pada intinya, berbagi itu luas
konteksnya dan beragam cara serta prinsipnya. Sebagai manusia, tentu kita ingin
menjadi yang terbaik. Membahagiakan orang lain merupakan suatu kemanfaatan yang
bisa kita capai dengan cara yang sederhana.
Kasih purnama bukanlah konsonan
dengan vokal yang terus meluntur,
Mari berbagi kebahagiaan
agar hidup tenteram dan makmur.
Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Jangan Takut Berbagi yang diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa
Komentar
Posting Komentar