Cerpen

Selendang Mayang



Tahun Pertama

Barangkali benar, Mayang bukanlah gadis kecil pada umumnya. Wajahnya ayu putih bersih, langkahnya lemah gemulai, tubuhnya tak gemuk juga tak kurus. Anak itu tak ubahnya seperti Dewi Candra Kirana dalam kisah-kisah legenda. Di pipinya terdapat lesung pipit. Saat tersenyum, ia akan nampak sangat manis. Sorot matanya bak purnama di malam hari. Sayangnya, rambut yang dimilikinya tak bisa terurai sempurna. Antara helai satu dengan lainnya saling menyatu. Konon, rambut itu akan kembali normal setelah diruwat.



Namun, hal itu tak terjadi pada Mayang. Rambut gimbalnya kembali tumbuh. Sejak saat itu, ia dikucilkan. Mayang yang hidup sebatang kara, tanpa bapak tanpa biyung, menutup diri dari masyarakat. Ia tak pernah lagi bermain, bahkan tertawa. Kini, ia adalah gadis kecil yang pendiam dan pemurung.



Mayang yang seorang diri itu diangkat cucu oleh Ki Bremana, sesepuh Desa Giyanti. Ki Bremana juga tak punya siapa-siapa. Ia melajang hingga usianya kini. Ada alasan tersendiri mengapa Ki Bremana setia menyendiri. Ada yang bilang bahwa dulunya ia pernah menikah muda, tetapi istrinya telah tiada. 


Ada pula yang berkata bahwa ia punya aji-aji kuat sehingga tak mungkin baginya menikah di usia senja. Setiap sore, Ki Bremana mengunjungi Telaga Balaikambang, entah untuk apa. Masyarakat sekitar hanya beranggapan itu sebagai wujud menyatunya manusia dengan alam. Ada juga yang menganggap kalau di sana, Ki Bremana tengah berdialog dengan para bidadari kayangan atau mungkin Dewi Roro Ronce atau mungkin Kiai Kaladete.


Sebenarnya, ada keinginan kuat dalam hati Ki Bremana untuk menyembuhkan Mayang. Menyembuhkan rambut gimbalnya, kemurungannya, juga kesedihannya.



 “Mayang! Mayang mau ndak jalan-jalan?” tanya Ki Bremana di depan kamar. 


Namun, Mayang diam seribu bahasa. Dilihatnya dari kejauhan, Mayang tengah menggumam dengan pandangan kosong ke depan. Kamar-kamar rumah Ki Bremana memang tak ditutup oleh pintu, bukan pula terbuka, melainkan hanya ditutup oleh gorden yang bisa diterawang siapa saja dari luar. Ki Bremana beranjak dari berdirinya. Ia mendekati Mayang.


 “Mayang, Mbah punya sesuatu buat Mayang. Mayang kangen ndak sama biyung?” tanya Ki Bremana dengan tatapan ke mata Mayang.



Mayang tetap diam. Pandangannya masih kosong.



 “Mayang, Biyung Nandini itu dulu cuaantik sekali seperti Nduk Mayang. Mayang tahu ndak, bapaknya Mayang itu juga gagah seperti Mbah. Cocok sama Biyung Nandini, kan?” Mayang tetap diam. Namun, matanya mulai berkaca-kaca.



 “Mayang mau dengar cerita tentang biyung?” Mayang mengangguk, “dulu, Biyung Nandini disegani sama orang-orang kampung. Biyung itu orangnya sangat baik, suka menolong, ramah, juga rajin,” tutur Ki Bremana sambil duduk di samping Mayang,



“Biyung ndak pernah marah. Ia orangnya pendiam, sama seperti Mayang. Mayang kangen ndak sama biyung?” tanya Ki Bremana lagi. Mayang mengangguk pelan.



“Biyung itu dulu suka sekali menari. Makanya, bapaknya Mayang jatuh cinta sama biyung. Sampai-sampai, bapaknya Mayang tersandung pas lihat biyung ada di sana. Dia ndak melihat kalau ada ember di depannya.” Perlahan Mayang tersenyum.



“Mayang mau seperti biyung?” Mayang kembali diam, “ini selendang yang dulu pernah dipakai menari sama biyung,” Ki Bremana meletakkan selendang itu di kasur, “kalau sewaktu-waktu Mayang rindu, Mayang bisa pakai selendang ini.” 


Pandangan Mayang tak lagi kosong. Kedua bola matanya memutar menuju tempat di mana selendang itu diletakkan. Sementara, Ki Bremana pamit keluar.


Mayang melirik ke selendang itu, menatapnya tajam-tajam. Dilihatnya pelan-pelan lalu tangan kanannya mulai meraih sejimpit kain selendang. Hatinya terketuk. 


Mayang yang selama ini suka melamun, kini pikirannya telah terisi. Ia rindu sekali dengan biyungnya. Bagaimana tidak, tak ada kasih sayang yang mampu menandingi kasih sayang orang tua kepada anaknya. Mayang yang masih anak-anak itu, tak lagi mendapatkan belaian cinta seorang biyung. Ia rindu. Sungguh.


 Ketika hari berganti malam, tiba-tiba Mayang bertemu seorang laki-laki bertubuh tinggi dengan pakaian nyentrik hitam-hitam. Ia memakai topeng yang pernah dilihatnya di kamar Ki Bremana. Jaraknya dengan laki-laki itu hanya sekepal tangan. 


Anehnya, Mayang yang masih kecil itu tak merasa takut sama sekali. Ia justru memakai selendang milik biyung yang dikalungkan di lehernya. Memanjang terjuntai sampai ke lantai sebab dirinya belum setinggi biyung.


 “Kamu siapa? Kok dekat-dekat sama Mayang?” tanya Mayang sambil celingukan. Namun, laki-laki itu hanya diam di balik topengnya.



 “Jangan nakut-nakutin Mayang! Mayang ndak takut, kok,” tutur Mayang sambil memeluk selendang biyungnya.



 “Mayang, rambutmu akan tetap seperti itu sampai kapan pun. Kamu tak akan pernah bisa mengembalikannya dengan cara apa pun,” kecam laki-laki itu.



 “Kata siapa? Rambut Mayang pasti kembali!” seru Mayang.



 “Rambut itu tak akan pernah bisa dipotong oleh apa pun. Rambut itu adalah bagian hidupmu. Anak-anak lain tidak sepertimu. Kamu harus tahu itu, Mayang.”



 “Kata siapa? Kamu itu jahat! Mayang benci sama kamu. Mayang ndak suka sama kamu!”



 “Dengarkan itu, Mayang!”



 “Ndak! Ndak! Mayang ndak mau seperti itu. Pergi saja kamu! Pergi!” Mayang menyabetkan selendang yang dipakainya ke arah laki-laki di balik topeng. Mayang marah. Marah besar.



 Tiba-tiba, dunia yang dilihat Mayang beralih. Bukan lagi di tempat Mayang berkelahi dengannya. Mayang mendapati dirinya terbaring di tempat tidur. Tenyata, itu hanya mimpi. Mayang ketakutan. Badannya bergetar. Mayang berlari ke kamar Ki Bremana. Berlari sekuat-kuatnya.



 “Mbah! Mayang takut. Mbah!” Mayang mengongkrak-ongkrak Ki Bremana yang tengah tidur pulas. 


Seketika, Ki Bremana bangun kebingungan mendapati Mayang di sampingnya. Wajahnya ketakutan, matanya membendung air mata.


 “Mayang! Mengapa bangun malam-malam, Nduk?” tanya Ki Bremana.



 “Tadi ada orang aneh, Mbah. Mayang takut.”



 “Orang aneh siapa, Mayang? Masuk ke kamar Mayang? Iya? Mana orangnya?”



 “Ndak, Mbah. Mayang takut. Mayang takut. Orang itu bilang,” Mayang menangis sesenggukan.



 “Bilang apa, Mayang? Bilang apa? Bilang sama Mbah, ndak usah takut!”



 “Orang itu bilang kalau rambut Mayang ndak bisa seperti teman-teman, Mbah. Itu ndak benar kan, Mbah? Mayang ndak akan seperti itu kan, Mbah? Iya kan, Mbah?” Ki Bremana menarik napas panjang.



 “Iya, Mayang. Mayang ndak boleh takut, ya. Rambut Mayang pasti bisa seperti teman-teman Mayang lainnya.” Mayang diam bahagia mendengar jawaban Ki Bremana.



 “Terus, tadi orangnya ngapain Mayang? Mayang aman, kan?” Mayang mengangguk.



 “Tadi Mayang sabet orang itu pakai selendang biyung, Mbah. Mayang hebat, kan?” Matanya menyipit, senyumnya tersungging di sudut-sudut bibirnya. Mayang bangga.


 “Wah! Putrinya Biyung Nandini pasti hebat!” puji Ki Bremana, “ya sudah, Mayang tidur lagi, ya. Mayang mau ndak Mbah ajari menari? Seperti biyung?” tanya Ki Bremana. 

Mayang mengangguk.

 “Horee! Besok pagi Mayang ikut Mbah ke Candi Dieng, ya!”
 Mayang menggeleng.

 “Ndak apa-apa. Nanti kalau ada yang macem-macem, Mayang sabet lagi saja pakai selendang biyung. Mayang kan pintar.”

Mayang mengangguk dan tersenyum kembali.

 Keesokan harinya, Mayang bersama Ki Bremana pergi ke pelataran Candi Dieng. Di sepanjang jalan, orang-orang terkejut sekaligus senang bisa melihat Mayang kembali seperti sediakala. 

Meskipun begitu, tatapan Mayang tak seperti tatapannya dulu yang penuh kegembiraan. Setiap langkah, yang dilakukannya tak lain adalah menatap orang lain penuh curiga.

 Sampai di pelataran, Ki Bremana teringat akan suatu hal. Ia lupa membawa topeng yang ada di kamarnya. Topeng yang sama dipakai oleh laki-laki yang pernah ditemui Mayang dalam mimpinya.

 “Mayang tunggu di sini, ya! Mbah lupa membawa topeng. Mbah mau pulang dulu, sebentar.”

 Mayang diam.

 “Ndak usah takut. Nanti kalau ada yang aneh-aneh sama Mayang, ingat kata Mbah, sabet saja orang itu pakai selendang biyung, ya.” 

Mayang mengangguk.

 Tak sampai seperempat jam ditinggal Ki Bremana sendirian, sekelompok anak-anak seusia Mayang tiba-tiba datang. 

Ada yang perempuan, ada yang laki-laki.

 “Mayang gembel! Mayang gembel!” ucap salah satu anak laki-laki.

Mayang diam. Dirinya bersiap mengalungkan selendang milik biyung ke lehernya.

“Ahahaha.... Mayang ndak punya teman, ya. Ahahahaha!” ledek teman lain.

Mayang masih tetap diam, tetapi hatinya mulai berkobar api kebencian. Kebencian pada kata-kata yang mencuat dari mulut teman-temannya.

“Ahahaha.... Iya, Mayang ndak punya teman!” sahut teman lain.

Mayang ingat kata-kata Ki Bremana. Ia bersiap sedetik lagi untuk menyabetkan selendang itu kalau teman-temannya masih saja meledek.

“Kalian ndak boleh seperti itu sama Mayang. Mayang itu teman kita. Dulu, kalian juga sama seperti Mayang, kan?” lerai Sambu, bocah laki-laki di antara teman-teman Mayang.

Selendang yang hampir saja akan disabetkan, perlahan diudarkan dari tangannya. Mayang terkejut saat teman-teman lain mengejek, Sambu justru membelanya. 

Sementara itu, teman-teman Mayang diam, beratatapan satu sama lain. Dalam hati, mereka bertanya apa yang sedang terjadi. Tiba-tiba, Ki Bremana datang. Ia membawa satu topeng di tangan kanannya. 

Melihat sekumpulan anak-anak di sana, Ki Bremana menghampiri Mayang segera. Dilihatnya satu-satu mata teman-teman Mayang.

“Mayang ndak apa-apa?” tanya Ki Bremanana. Mayang mengangguk.

Tanpa disuruh, teman-teman Mayang pergi. Mereka takut sama Ki Bremana. Namun, hanya Sambu yang masih di sana, berdiri di tempatnya.

“Sambu ndak ikut pulang?” tanya Ki Bremana dengan tatapan tajamnya.

“Tidak, Ki, Sambu mau di sini.”

“Mbah, Sambu tadi sudah menolong Mayang. Jangan apa-apakan Sambu, ya, Mbah,” pinta Mayang.

“Benar itu Sambu?” tanya Ki Bremana.

Sambu mengangguk.

“Ya sudah, Sambu mau ikut menari? Kebetulan pas, topeng ini cocok dipakai sama Sambu yang gagah ini.” Ki Bremana menjulurkan topeng yang dibawanya ke arah Sambu. 

Sambu bingung.

“Tapi Ki, Sambu ndak bisa menari.”

Ki Bremana tertawa lepas. Ia geli mendengar jawaban Sambu yang lugu itu.

“Tenang, Sambu. Mayang juga ndak bisa menari,” ucap Mayang. Sambu tersenyum. Ia mengambil topeng dari tangan Ki Bremana.

Hari itu, Mayang dan Sambu menari Tari Topeng Lengger. Mayang menarikan setiap gerakan dengan penuh penjiwaan dalam kegemulaiannya. Wiraga, wirama, wirasa, juga wirupa semua dikuasainya. 

Sementara, Sambu menari di balik topeng yang dipakainya, topeng yang sama seperti yang dipakai oleh laki-laki dalam mimpi Mayang.


***

Tahun Kesebelas


Mayang kecil telah bermetamorfosis menjadi Mayang dewasa yang masih sama manisnya sama cantiknya. Tetap saja, rambut gimbalnya masih menjadi rambut Mayang yang tak kunjung bisa dinormalkan. 

Mayang tumbuh menjadi penari Topeng Lengger bersama Sambu. Sama seperti Mayang, Sambu pun telah tumbuh menjadi laki-laki yang gagah perkasa layaknya Raden Panji Asmoro Bangun.

Sebenarnya, Mayang sendiri merasakan adanya bayang-bayang laki-laki dalam mimpinya setiap kali Sambu menari bersamanya. Ia terperangkap dalam hatinya, bertanya-tanya mengenai perkataan laki-laki yang tak ia tahu siapa ia. 

Mayang tak kuasa menanggung beban batinnya selama sebelas tahun ini. Mayang tak sanggup. Sementara, Ki Bremana tak akan pernah mengerti apa yang Mayang rasakan selama Mayang tak pernah bercerita pada Ki Bremana tentang hal itu.

Mayang sendiri hanya diam. Diam selama sebelas tahun, hanya dirinya yang tahu apa yang hatinya rasakan. Mayang memendam rasa kekhawatiran akan rambut gimbalnya yang selama ini tak diruwat-ruwatkan. 

Mayang yang pendiam, hanya bisa diam. Ia takut bercerita pada siapa pun. Ia takut. Ia meredam keluh kesahnya dengan tetap menari, menjiwai setiap gerakan untuk melatih dirinya supaya menjadi orang yang mampu menahan amarah.

Hingga suatu ketika, kegelisahan Mayang memuncak. Dirinya tak sanggup lagi membendung apa yang dirinya pendam seorang diri. Sore itu, Mayang menemui Ki Bremana di Telaga Balaikambang.

“Mbah, kata Mbah dulu, rambut Mayang bisa kembali normal, kan. Mengapa setiap kali Mayang memotongnya dengan gunting, rambut Mayang selalu saja menolak. 

Gunting itu malah terpental rusak. Kata Mbah, Mayang bisa normal seperti teman-teman Mayang yang lain, mana buktinya, Mbah? Mana? Mayang butuh bukti, Mbah!” sergap Mayang dengan tiba-tiba ketika Ki Bremana tengah menenangkan diri di sana.

Ki Bremana terkejut. Ia naik pitam. Ketenangannya sore itu telah diganggu.

“Mengapa kau menggangguku, Mayang? Bukankah sudah ku katakan, jangan mengganggu Mbah di telaga ini. Silakan saja kamu mau mengganggu Mbah di mana saja, jangan di sini. Kau sudah besar, sudah dewasa, Mayang,” ucap Ki Bremana marah-marah.

“Tapi, Mbah. Mayang sudah ndak kuat lagi seperti ini terus-terusan. Mayang ingin bisa seperti teman-teman lain. Mayang malu, Mbah. Malu!”

“Sejak kapan Mayang berubah menjadi pemalu seperti ini? Mayang yang Mbah kenal itu Mayang yang tak acuh sama ledekan orang lain. Mayang yang Mbah kenal itu Mayang yang kuat, yang tegar. Apa benar ini Mayang yang Mbah kenal?”

“Mayang tahu, Mbah. Mayang tahu. Tapi, bukan itu, Mbah. Bukan itu, bukan.”

“Lalu apa Mayang?”

“Tentang topeng yang dipakai sama Sambu. Apa Sambu hanya boleh pakai topeng itu saja, Mbah? Mayang terbayang-bayang terus sama laki-laki yang ada di mimpi Mayang saat itu, Mbah. Mayang tak tahan. Mayang tak tahan, Mbah.”

“Laki-laki siapa, Mayang? Yang bilang kalau rambutmu itu ndak bisa normal, iya?”

Mayang diam. Air mukanya basah sebab air matanya mengalir melalui kedua pipinya. Sementara, Ki Bremana menarik napas panjang. Ia menuntun Mayang untuk duduk di sekitar telaga.

“Nduk, Tuhan itu Mahaadil. Apa pun yang terjadi sama kamu, itu sudah jadi kehendak-Nya, sudah tertulis dalam kitab-Nya. Kalaupun rambutmu ndak bisa kembali normal, kamu harus ikhlas.”

“Mayang sudah ikhlas, Mbah. Tapi, bayang-bayang laki-laki itu membuat Mayang gelisah sepanjang hari. Mbah, Mayang selama ini menaruh hati sama Sambu. Ia anak baik-baik. Mayang kagum sama pendiriannya, kerja kerasnya, prinsipnya, juga ketenangannya. Tapi, setiap kali Mayang menari bersama Sambu, yang terlintas di benak Mayang itu bukan Sambu, tetapi laki-laki itu, Mbah. Mayang tak tahan.” Tangis Mayang semakin menjadi-jadi.

Ki Bremana tertawa lepas. Baru kali ini Ki Bremana mendengar kata hati Mayang mengenai perasaannya.

“Mayang mau tahu, siapa laki-laki itu? Yang pakai topeng itu?”

Mayang mengangguk.

“Dia itu jelmaan Kiai Kaladete, Mayang. Yang dititipkan rambut gimbal sama Dewi Roro Ronce. Kalau Kiai Kaladete datang dan bilang kalau rambutmu ndak bisa kembali, ya sudah, memang garismu itu seperti itu, Nduk.”

“Darimana Mbah tahu? Mengapa Mbah ndak bilang-bilang ke Mayang selama ini? Mengapa Mbah diam saja sejak Mayang cerita? Mbah tidak adil sama Mayang.”

“Ndak adil? Ndak adil kata Mayang? Mbah nggak tega bilang sama kamu. Ndak sampai hati, Nduk. Mbah takut kamu jadi murung dan suka melamun lagi. Mbah ndak mau itu.”

“Terus, rambut Mayang akan jadi gimbal selamanya, Mbah? Selamanya?”

“Ikhlas, Nduk, ikhlaskan saja. Toh, Sambu selama ini juga ndak apa-apa menari sama kamu. Ia ndak terganggu, kan?”

“Bagaimana sama hidupku, Mbah? Kata orang-orang, rambut gimbalku bakal bawa kesialan. Bagaimana sama nasibku, Mbah? Aku sudah ndak punya biyung, ndak punya bapak.”

“Nasib? Mayang tanya soal nasib? Nduk, nasib itu sudah ada yang mengatur. Yang perlu kamu lakukan itu, ya, berusaha, terus pasrah sama Yang Kuasa. Ingat, jangan pedulikan cemoohan orang. Kalau ada yang berani macem-macem, sabet saja pakai selendang biyungmu, selendangnya Mayang sekarang. Yang perlu disabet itu bukan fisiknya, bukan luarnya, tapi dalamnya, hatinya itulah yang perlu disabet, Nduk.”

Mayang diam menerawang jauh ke depan. Didekapnya selendang Biyung Nandini yang sekarang sudah menjadi miliknya.


***


Mayang dan Sambu menjadi sepasang penari Tari Topeng Lengger. Sambu tetap memakai topeng yang biasa ia pakai, topeng dibalik wajah Kiai Kaladete yang perkataannya terus membayangi Mayang. Mayang sudah ikhlas. Mayang telah mengubah pandangannya. 

Topeng itu akan selalu menjadi pengingat akan keberadaan Sang Khalik, yang mengisyaratkan bahwa semua itu diciptakan sesuai kadarnya masing-masing. Mayang dengan selendangnya, sedangkan Sambu dengan topengnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MATERI ASMAUL HUSNA KELAS 10 SEMESTER 1

Materi PAI SMA Kelas 10: Kontrol Diri, Prasangka Baik, dan Persaudaraan

PANTUN "TEKNOLOGI"