Sejari Dinding Berjarak

#Albireo1



Malam terselinap pada keheningan. Entah mengapa, berat rasanya kakiku menapaki jalanan ini. Dalam sepejam, penglihatanku nampak asing, antara mimpi dan kenyataan yang hanya dibatasi oleh selaput kabut yang sangat tipis.

Tak lama ku melangkah dari tempat itu, langit mulai redup. Sementara, cahaya cerah kian menyambut datangnya surya.

Wushhh..........!!!!!!!!!!!!

Angin bertiup begitu kencang. Burung dan kupu-kupu bertebaran di mana-mana. Hatiku mulai berdetak bahkan begitu kencang hingga terasa mulai lenyap. Senyap. Aku berdiri memaku di atas tanah yang tak berbatu ini. Dengan sedikit gerakan pada ujung-ujung jari, mataku terpejam, meski sempat hatiku menolaknya.

Kleek,,,,,

Kudengar suara yang tak asing lagi. Aku merasakan hawa yang berbeda, dan mataku mulai berceloteh. Sementara, nuraniku melarang melakukan hal ini. Ingin rasanya aku meleraikan perkelahian itu. Namun, apalah dayaku ini yang hanya diperbudak oleh akal sehat di otakku.

Pada akhirnya, mataku terbuka secara perlahan. Kau tahu apa yang aku lihat? Dinding. Entah mengapa, masa kecilku selalu terobsesi dengan dinding. Mengertikah aku akan sekat perbatasan ini?

"Dengarlah gema yang sengaja diperdengarkan untukmu," seseorang tiba-tiba mengatakan hal ini padaku.

Aku ingat. Sebelum kabut-kabut itu muncul, seseorang menyapaku. Dengan wajah yang berselimutkan hoodie, manusia itu sama sekali tak terlihat identitasnya. Bahkan, suara yang sempat ia ucapkan saat itu, lambat laun memudar.

Jikalau saja, alam tempat persinggahan ini mau berjabat tangan denganku, aku akan membuat perjanjian agar dia mau mendatangkan kembali manusia sepertinya. Kata yang ia lontarkan tertancap tepat pada lingkaran kehidupan yang aku jalani saat ini.

Andaikata, lingkar hidupku penuh dengan khayalan dan imajinasi, aku akan membuat skema yang memosisikan diriku pada manusia normal. Bukan seperti apa yang aku rasakan.

Kehidupanku penuh dengan subjek kata pemalu, pendiam, penyendiri, bahkan sering digarisbawahi sebagai manusia anti manusia. Manusia-manusia lain yang ada di sekelilingku seringkali bahagia dan tertawa secara berlebihan. Tahu mengapa? Bukan karena aku manusia humoris, melainkan ekspresi datarku yang super aneh.

Namun, pada kabut, diriku seakan bercermin. Manusia itu seperti mengetuk stereotipku. Mungkinkah ini hanya suatu kebetulan?

Pandanganku terbuyar. Sudah satu jam lebih satu detik rupanya aku kembali mengkhayal dan berbicara sendiri. Namun, aku anggap pembicaraan ini bukanlah seorang diri, melainkan pada alter ego yang entah datang sejak kapan.

Masa kecilku memang nampak lebih indah, tetapi masa remajaku akan sama indahnya, kalau aku mampu beradaptasi dengan baik. Di persimpangan ini, aku berharap, dinding-dinding atau sekat itu hadir kembali seperti masa kecilku. Andaikata manusia kabut itu kembali lagi, mungkinkah jelma namanya berarti dinding, yang akan membatasi persimpangan-persimpangan rumit pada kehidupanku?


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MATERI ASMAUL HUSNA KELAS 10 SEMESTER 1

Laporan Praktikum Kimia Percobaan A2 Penurunan Titik Beku Larutan