Mentari yang Tak Pernah Sambat


Sebuah Kisah untuk Mengenal Berbagi



Gutenberg.rocks


Berapa sering kita berbagi? Apakah dengan berbagi menandakan jika kita ini orang yang justru sangat membutuhkan pertolongan dari orang yang kita bagi? Apakah mereka yang pantas untuk berbagi hanyalah orang yang pandai, kaya, dan terkemuka di hadapan publik?

Coba kita berpikir lebih dalam lagi, siapa orang yang boleh berbagi? Bagi saya, semua orang memiliki hak untuk berbagi, tanpa memandang suku, agama, ras, budaya, gender, maupun derajat. Bagi beberapa orang yang berpikiran sempit, akan lebih mudah untuk berkata, “Saya itu orang yang tidak punya apa-apa, jadi saya tidak mampu berbagi saat ini. Untuk biaya hidup saja sulit, lalu kalau saya berbagi, mau makan apa nanti anak-anak saya?”


Bagi mereka, berbagi mungkin hanya sebatas pemandangan dalam bentuk materi yang mana materi adalah segalanya bagi orang lain. Orang yang berpikiran sempit seperti itu adalah orang yang mengedepankan sikap hedonisme yang sudah melekat dalam hati dan pikiran mereka. Semuanya terbatas hanya pada materi yang bersifat keduniaan dengan menganggap bahwa manusia sejatinya itu mutlak bergantung dan berkeinginan pada harta yang melimpah. Padahal, belum tentu, orang dengan harta berlebih akan bersedia mendermakan hartanya dengan alasan bahwa yang akan dibagikan itu terlalu kecil dan rendah nilainya sehingga mereka hanya dikekang rasa minder dan takut apabila publik berpandangan bahwa orang itu adalah orang terpelit di dunia. Orang-orang yang memiliki pandangan negatif atau istilahnya adalah negative thinking, dalam benaknya hanya akan dipenuhi pemikiran semacam ancaman pada bagaimana orang lain akan menilai saya apabila saya bertindak semacam ini. Saya yakin, orang-orang dengan berkepribadian tertentu pasti pernah merasakan hal semacam ini. Rasa takut apabila apa yang kita bagi akan ditolak oleh orang lain, akan menyinggung perasaan orang lain, hingga rasa takut jika hal yang kita bagi itu tidak memiliki arti penting bagi mereka. Pada dasarnya, prinsip ini akan bergantung pada karakter masing-masing individu dalam bersikap.


Sementara itu, dalam beberapa peristiwa yang pernah saya amati, orang dengan harta yang cukup hanya untuk kebutuhan makan, bahkan kekurangan, ada keunikan tersendiri dalam prinsip hidup mereka. Bahwa apa yang kita miliki adalah suatu keberhakan apabila kita mampu berbagi, meskipun dalam kapasitas yang terbilang sangat kecil. Namun, bagi mereka hal ini adalah sesuatu yang dapat memberikan kedamaian dan ketentraman dalam jiwa mereka, terlebih pada orang yang mereka bagi. Tentang mau menerima atau menolak, itu adalah hak bagi orang yang mereka bagi. 


Pada intinya, manusia yang multikultural ini memiliki pandangan dan pemikiran yang terkadang tidak sefase dengan gelombang pemikiran orang lain.


Namun, di zaman dengan perkembangan teknologi yang semakin maju ini, kita dimudahkan untuk berbagi dengan orang lain, hanya dengan sekali klik di www.dompetdhuafa.org atau di donasi.dompetdhuafa.org kita menjadi mudah untuk meringankan beban saudara-saudara kita, khususnya yang memerlukan.

Siang, mentari bersinar terang
Memberikan secercah harapan baru bagi mereka yang menerima sinarnya
Petani-petani yang mengeringkan gabah dan garamnya,
Tumbuh-tumbuhan yang mengubah karbondioksida dan air
menjadi karbohidrat dan oksigen
yang kelak,
memberikan siklus kehidupan bagi setiap makhluk
yang berpijak pada tanah yang tak pernah sambat


Bahkan, kita sebagai manusia seharusnya bisa memberikan kemanfaatan untuk orang lain layaknya matahari yang tak pernah lelah berbagi, bumi yang selalu berotasi dan berevolusi agar kita bisa tetap hidup, tanah yang tak pernah mengeluh agar kita tumbuh makmur, dan air yang terus mengalir meski banyak noda yang membasuhi tubuhnya.

  
Sebenarnya, kalau kita telusuri lebih dalam lagi, berbagi tidak harus pada kapasitas dengan kuantitas yang banyak dan berkualitas, melainkan apa adanya sesuai kemampuan kita. Kita tahu, setiap orang pasti pernah mengalami kesedihan, baik yang mendalam maupun yang hanya bertamu seketika di tengah kebahagiaan. Mungkin, tidak semua orang membutuhkan harta apabila mereka punya harta yang melimpah. Dalam kesedihan itu, harta bukanlah kunci untuk mengembalikan kebahagiaannya. Lalu, hal apa yang berhak mereka terima dan hal yang harusnya kita bagi? Senyumlah! Berikan orang itu motivasi dan semangat agar ia bangkit kembali dan tidak berlarut-larut dalam kesedihan.


Di ranah kehidupan remaja, kita sering melihat teman ataupun sahabat kita yang bersedih setelah hubungannya dengan lawan jenis terputus setelah begitu lamanya hubungan itu terbangun. Atau, teman-teman kita yang murung karena nilai yang didapatkan melenceng jauh di bawah harapan. Maka, dari hal semacam ini, kita bisa berbagi dengan menghibur dan berkata, “Kehidupan ini bukan hanya tentang nilai dan predikat yang penuh dengan materi. Masih banyak kebahagiaan lain yang masih bisa kita capai. Berusahalah menjadi yang terbaik dan masih banyak orang yang menyayangimu,” Tentu saja, menurut saya, menebar senyum dan kebahagiaan untuk orang lain merupakan bagian dari berbagi dengan cara yang paling sederhana.



Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, khususnya di Indonesia yang penuh dengan budaya luhur ini, tetangga merupakan orang terdekat yang menolong dan ditolong. Suatu kolaborasi khusus yang menyebabkan kita saling membantu dalam kehidupan bertetangga. Dalam Islam, terdapat beberapa poin penting dalam hidup bertetangga, yaitu seperti saling berbagi ketika tetangga mencium bau masakan yang kita masak. Bukankah itu juga termasuk dalam konteks berbagi?


Beberapa dari kita pasti juga pernah merasakan duduk di bangku sekolah untuk mengenyam pendidikan, bukan? Mungkin, antara siswa yang pandai dengan yang kurang pandai juga tedapat kontraks yang seharusnya tidak menimbulkan diskriminasi yang pada akhirnya akan menimbulkan perpecahan. Dalam beberapa hal yang pernah saya amati dan alami, orang-orang yang kurang menguasai suatu materi pasti akan bertanya pada mereka yang lebih cerdas. Lalu, dengan senang hati, yang cerdas akan mengajarkan pada mereka yang kurang cerdas agar mereka berada dalam kepahaman yang sama dengan orang yang cerdas. Bukankah itu juga termasuk dalam konteks berbagi?


Saya memiliki beberapa kisah yang akan sedikit saya bagi dalam tulisan kali ini. Di usia saya yang terbilang masih dalam masa remaja, tantangan demi tantangan hidup pernah saya lalui. Bertahap, dari yang mudah, sedang, hingga yang sulit. Saya juga bukan anak yang berasal dari keluarga bergelimang harta, melainkan saya terlahir dari keluarga yang sederhana dan pas-pasan. Terkadang, saat berada di lingkungan sekolah yang mayoritas terisi oleh anak orang berada, saya merasa minder untuk berbagi pada mereka, salah satunya adalah makanan. Dari cara mereka hidup, saya berpendapat bahwa makanan yang saya makan ini mungkin bukanlah sesuatu yang menikmatkan atau dalam selera mereka. Dengan asumsi seperti itu, setiap kali saya ingin membagikan makanan saya pada mereka, saya harus berpikir lebih matang, mungkinkah mereka akan merasa jijik dan menolak pemberian saya. Nyatanya, setelah hal ini berjalan, mereka pun akan menghargai pemberian saya, seperti apa pun bentuknya. Hubungan saling memiliki dan keterkaitan yang erat dalam satu kelas ini, bagi saya adalah sebuah keluarga baru di mana dengan segenap keikhlasan, mereka akan menerima sesuatu dengan apa adanya. Terkadang, dengan sikap peduli yang ditanamkan oleh masing-masing orang tua sejak dini, mereka pasti juga tertarik untuk berbagi dengan lainnya. Hingga suatu korelasi baru akan timbul seperti bagaimana kita berbalas budi pada orang yang telah memberikan kita suatu energi baru, baik itu dalam bentuk materi maupun moralitas. Di lain hal, saya sering merasa miris saat melihat orang-orang di sepanjang jalan yang saya lalui harus bekerja sekuat tenaga memikul dagangan mereka di bawah terik matahari. Bahkan, mereka terbilang sudah berusia lanjut. Apalagi, dagangan yang mereka jual itu belum ada pembelinya sama sekali. Lalu, saya sendiri terkadang melihat beberapa orang yang memiliki jiwa menolong yang tinggi, mereka akan berusaha membeli dagangan mereka, meskipun bukan seleranya. Namun, sikap yang terdalam seperti rasa empati dan simpati pada orang lain, akan mendorong kita berbuat baik pada mereka.  


Mentari mulai meninggalkan muka,
Memberikan semburat kasih dengan untaian warna
Senja mendatang,
Jiwa-jiwa pekerja berpulang
Memeluk keluarga dan sanak saudara
Lalu di sana, kita saling bercengkerama


Siapa yang belum pernah merasakan rindu? Kita semua pasti pernah merasakan perasaan yang menenggelamkan rasa atas dasar cinta dan kasih sayang. Seorang hamba yang merindukan Tuhan dan Rasulnya, seorang anak yang merindukan biyungnya, atau seorang manusia yang merindukan kasihnya. Lalu, setelah sekian lama merindu, masing-masing insan saling bertemu. Saling memeluk erat dan bertanya kabar. Setelah itu, mereka akan saling berbincang-bincang berbagi cerita dan kisah yang dihadapinya agar orang yang kita kasihi tahu dan ikut merasakannya. Mulai dari kisah pelik, bahagia, hingga kisah sedih. Atau, ada beberapa kisah yang sengaja kita tutupi agar orang yang kita kasihi tidak terlarut dalam rasa sedih yang kita alami. Bagi orang yang mengerti, berbagi kisah akan meringankan beban orang yang membagikan kisahnya. Memahaminya, lalu menjadikannya sebagai suatu pelajaran berharga untuk kehidupan di masa mendatang karena waktu akan terus berlanjut.


Namun, hal yang seharusnya tak boleh terjadi adalah berbagi dalam konteks kenegatifan. Segalanya yang berada dalam lingkaran negatif, akan memberikan pengaruh negatif juga bagi orang di sekelilingnya. Seperti halnya berbagi jawaban ketika ulangan berlangsung, berbagi informasi hoax yang menimbulkan kesalahpahaman, atau berbagi hal-hal buruk yang memengaruhi jiwa dan mental orang lain. Menurut saya, hal itu bukanlah dalam konteks berbagi, melainkan menjerumuskan dan menarik orang lain agar masuk dalam ranah mereka.  Tentu saja, hal ini tidak baik.


Pada intinya, berbagi itu luas konteksnya dan beragam cara serta prinsipnya. Sebagai manusia, tentu kita ingin menjadi yang terbaik. Membahagiakan orang lain merupakan suatu kemanfaatan yang bisa kita capai dengan cara yang sederhana.


Kasih purnama bukanlah konsonan
dengan vokal yang terus meluntur,
Mari berbagi kebahagiaan
agar hidup tenteram dan makmur.



Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Jangan Takut Berbagi yang diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa






Komentar

Postingan populer dari blog ini

MATERI ASMAUL HUSNA KELAS 10 SEMESTER 1

Laporan Praktikum Kimia Percobaan A2 Penurunan Titik Beku Larutan