Resensi Novel: Menyelami Kisah Pemberani Si Anak Badai

Menyelami Kisah Pemberani Si Anak Badai 




            Si Anak Badai merupakan sebuah novel karangan penulis legendaris Indonesia, Tere Liye. Novel tersebut berhasil diterbitkan oleh Penerbit Republika dengan cetakan pertamanya di bulan Agustus 2019 silam. Memiliki 322 halaman dengan ketebalan 21 cm, novel ini merupakan novel keenam dari Serial Anak Nusantara yang mana cerita di dalamnya berdiri sendiri tanpa ada kaitannya dengan novel- novel terdahulu seperti Si Anak Pemberani, Si Anak Spesial, Si Anak Pintar, Si Anak Kuat, dan Si Anak Cahaya.


            Tere Liye lahir di Lahat pada 21 Mei 1979. Dia adalah anak keenam dari tujuh bersaudara yang tumbuh dalam  keluarga sederhana. Meskipun demikian, Tere Liye telah menyumbangkan banyak karya yang sangat menginspirasi dan mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat.


            Si Anak Badai berkisah tentang kehidupan geng Si Anak Badai, sebuah geng beranggotakan empat orang anak kelas enam SD di Muara Manowa, sebuah perkampungan yang dibangun di atas sungai dengan jalan penghubung berupa susunan kayu-kayu ulin. Keempat anak tersebut bernama Zaenal, Malim, Awang, dan Ode. Tekad mereka kuat, sekuat badai. Kisah ini berawal dari tokoh Zaenal yang kerap disapa Za bermimpi mengenai kedatangan seorang bajak laut dengan kapal megahnya. Bersama seorang adik laki-lakinya, Fatah, keduanya menantang sang bajak laut untuk menunjukkan kapal mana yang paling hebat. Dalam mimpi itu, sang bajak laut bersikap congak tak memedulikan pertanyaan kedua kakak-adik tersebut. Dia kukuh ingin menguasai perkampungan Muara Manowa. Pada akhirnya, mimpi tersebut menjadi nyata semenjak kedatangan Pak Alexander, pejabat propinsi yang matanya tertutup sebelah dengan kapas berlapis kain kassa, ke Muara Manowa. Tujuan kedatangannya ialah untuk memberitahu akan adanya proyek besar pembangunan pelabuhan di sana. Sontak, warga terkejut. Mereka pun menolak pembangunan pelabuhan tersebut. Mereka takut kehilangan tempat tinggal dan pekerjaannya sebagai nelayan. Pada kenyataannya, pembangunan tersebut tetap dilaksanakan. Padahal, sudah berkali-kali warga menolak, terutama sikap teguh Pak Kapten, Sakai bin Manaf, mempertahankan wilayah mereka. Pak Kapten pun ditangkap dan diadili sebab telah melakukan provokasi pada warga dengan melakukan pemutaran film yang menimbulkan gejolak sikap penolakan terhadap program pemerintah. Namun, dalih penangkapannya sungguh tidak sesuai fakta. Bukan atas dasar pemutaran film yang diduga provokasi, melainkan terkait insiden tenggelamnya kapal yang melintas di Muara Manowa. Di samping itu, fakta adanya penggelapan laporan pembangunan terkait struktur tanah Muara Manowa menjadikan dasar bahwa sebenarnya ada kejanggalan dalam proyek besar itu.  Mengetahui hal tersebut, geng Si Anak Badai beraksi. Zaenal, Malim, Awang, dan Ode melakukan tindakan tak terduga. Mereka menyusup ke kapal yacht untuk mencuri dokumen asli. Rencana mereka tak berjalan mulus. Di malam pertama, mereka hampir ketahuan. Untungnya, mereka cerdas, sangat teliti di awal perencanaan hingga tak menyisakan bukti yang bisa menuding mereka. Di hari berikutnya, mereka dengan gagah berani bertaktik mencari celah agar bisa masuk ke dalam yacht. Mereka tak gentar meski keadaan saat itu tak mendukung. Hujan turun disertai gemuruh geledek dengan petir yang menyambar-nyambar. Mereka yakin, api tak seharusnya dilawan oleh api yang sama. Ada kalanya api dilawan dengan air. Dengan keluguan dan kecerdikannya, mereka berhasil meyakinkan para tukang pukul yang berjaga di pintu yacht. Meskipun tak mendapatkan dokumen asli, mereka, Si Anak Badai, mendapatkan rekaman pembicaraan para pejabat yang egois dan buta akan peri kemanusiaan itu. Pada akhirnya, masalah selesai. Pak Kapten kembali. Sementara itu, pembangunan pelabuhan tersebut dibatalkan.


            Si Anak Badai ini benar-benar menyuguhkan cerita yang sangat menginspirasi. Keluguan dan keceriaan anak-anak Muara Manowa membuat pembaca ingin kembali ke masa kecilnya. Zaenal, seorang anak yang tanggung jawab, pemberani, cerdas, patuh, cekatan, dan religius, rupanya memiliki sikap lalai akan tugasnya untuk membelikan Mamak lima kilogram ubi ungi. Saat itu, Za bertemu Rahma yang sedang menjual ikan-ikan cakalangnya di pasar terapung dengan perahunya. Atas permintaan Rahma pada Za untuk membantu menjual ikan-ikannya, Za lupa akan tugasnya. Apalagi, saat itu ada pencuri yang ingin melarikan diri dengan perahunya. Walaupun akhirnya, orang itu bukanlah pencuri. Ode, si tukang nge-bos yang giat bekerja dan punya kemauan besar melanjutkan sekolah ke SMP, selalu semangat menceburkan diri ke sungai sambil melambaikan tangan dan berteriak supaya penumpang kapal-kapal seperti Lembayung Senja, Samudera Jaya 1990, Kargo Samudera, dan kapal-kapal lain, melemparkan uang-uang koin. Tak hanya Ode, anak-anak lain pun juga melakukan hal yang sama setiap kali ada kapal yang melintas. Sementara itu, Awang, dia jago berenang, suka bercanda, tanggung jawab, serta menepati janji. Dalam novel ini, dikisahkan pula rasa kesetiakawanan geng Si Anak Badai untuk melawan sikap keras kepala seorang anggotanya, Malim, yang ingin menjadi saudagar kaya tanpa bersekolah.  Dalam hal ini, seorang kawan tak akan mungkin meninggalkan kawannya sendirian. Tak hanya berisi tentang keberanian geng Si Anak Badai, novel ini juga dibumbui dengan kisah cinta yang acapkali anak-anak rasakan. Kasih sayang seorang tokoh Mamak Fatma pada suami dan anak-anaknya: Zaenal, Fatah, dan Thiyah, membuat pembaca merasakan kehangatan seolah-olah tengah berada bersama keluarga mereka di rumah. Selain itu, adanya tokoh Pak Kapten alias Sakai bin Manaf yang tegas, senang berdebat, dan sulit mengontrol emosi, memberikan kesan rindu tersendiri setelah mengetahui keteguhannya menolak pembangunan pelabuhan Muara Manowa. Sementara itu, tokoh-tokoh antagonis seperti Pak Alexander, seorang utusan gubernur, dan Camat Tiong, memberikan pembelajaran bahwa sebagai seorang yang diberikan amanah, kita seharusnya bertanggung jawab, bukan justru melanggar dan mengecewakan.


            Si Anak Badai menawarkan banyak kejutan di setiap peristiwanya. Novel tersebut menyuguhkan kelakar anak-anak Muara Manowa yang seakan tak ada habisnya, membuat pembaca tersenyum dan tertawa geli menyaksikan tingkah laku mereka melalui imajinasinya. Salah satu kalimat yang memberikan kesan tersendiri yaitu, "menggaruk kepalanya yang tidak gatal". Novel tersebut juga memuat banyak tokoh dengan karakteristik yang beragam. Adanya pemaparan setting yang mendetail serta bahasa yang ringan, membuat novel tersebut kaya akan daya imajinasi. Melalui novel tersebut, pembaca diajak untuk bisa menerapakan nilai moral yang terkandung di dalamnya, yaitu taat pada Tuhan, berani mengambil risiko, setia kawan, tanggung jawab, pantang menyerah, dan masih banyak lagi. Seperti kutipan berikut, “Sebesar apapun usaha seseorang, maka apapun hasilnya Tuhan yang menentukan. Manusia hanya bisa berusaha.” Selain itu, novel tersebut juga mengandung nilai hedonik yang mampu membuat pembaca merasa senang, nilai artistik dengan pilihan kata dan gaya bahasa yang luwes, serta nilai sosio kultural di kehidupan Muara Monawa. Sayangnya, pengenalan nama seseorang dalam novel tersebut tidak dipaparkan dari awal kemunculan si tokoh, melainkan di tengah-tengah cerita. Selain itu, di akhir novel juga tidak diceritakan secara jelas bagaimana kondisi pembangunan pelabuhan yang dibatalkan. Hal tersebut mengingat adanya struktur tanah Muara Manowa yang katanya cenderung mengkhawatirkan.


            Si Anak Badai cocok dibaca oleh anak-anak usia sekolah dasar, menengah, hingga jenjang di atasnya karena bahasanya sangat ringan untuk dipahami juga kaya akan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Beberapa kutipan dalam novel Si Anak Badai berikut ini akan membuktikannya. “Ilmu milik Allah sangat luas. Bayangkan kalian mencelupkan telunjuk di laut, kalian angkat telunjuk itu, maka air akan menempel di telunjuk kalian, itulah ilmu yang dianugerahkan Allah kepada kita. Selebihnya, air di lautan yang tak terhingga banyaknya, itulah ilmu Allah. Ada yang kita tahu, ada juga yang kita tidak tahu. Kalau kita terus menanyakannya, maka akan jadi rumit sekali.” Maka dari itu, tak ada ruginya bila kita, generasi muda Indonesia, memiliki buku Si Anak Badai karya Tere Liye yang tak hanya menghibur, tetapi juga mengandung nilai-nilai luhur bangsa yang patut dijaga.
           














Profil Singkat Penulis

            Ulfah Nur Azizah, lahir di Purworejo pada 1 Mei 2002. Saat ini, Ia tengah mengenyam pendidikan di SMA Negeri 1 Purworejo. Ketertarikannya di dunia kepenulisan telah menjadi suatu anugerah yang patut disyukuri. Menulis tak hanya mengasah otak, tetapi juga telah membawanya pada imajinasi dunia yang tak terbatas. Untuk mengenal penulis, dapat bertukar sapa via surel ulfahnura01@gmail.com.


Komentar

  1. Karya Tere Liye memang top ya mbak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak Inas, benar sekali.
      Terima kasih sudah berkunjung di blog ini😃

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MATERI ASMAUL HUSNA KELAS 10 SEMESTER 1

Laporan Praktikum Kimia Percobaan A2 Penurunan Titik Beku Larutan